
Lelaki Malang, Kenapa Lagi? merupakan sebuah novel klasik yang ditulis oleh Hans Fallada, seorang penulis Jerman terkenal. Novel ini begitu lama berada di rak buku sampai saya membacanya di awal tahun ini. Saya membelinya entah kapan dari penerbitnya, Moooi Pustaka. Novel ini diterjemahkan dari Bahasa Jerman oleh Tiya Hapitiawati. Awalnya saya agak ragu bisa menyelesaikannya karena ceritanya terkemas dalam 421 halaman. Syukurlah, ceritanya menyihir sehingga bisa saya menuntaskan setengah bagian terakhirnya sepanjang malam kemarin.
Novel ini berlatar Jerman di era sebelum kepemimpinan Hitler. Tokoh utamanya, Johannes Pinneberg, seorang lelaki duapuluh tiga tahun yang bekerja sebagai pegawai pembukuan di satu toko. Hidupnya berubah ketika kekasihnya Lämmchen hamil dan ia kemudian memutuskan untuk melamarnya. Setelah pernikahan mereka yang sederhana, Pinneberg membawa Lämmchen pindah dari kediaman perempuan itu di Platz ke kota tempat tinggalnya di Ducherow.

Menikah dan punya anak bukan pilihan tepat di tengah situasi ekonomi Jerman yang sedang sulit pada waktu itu. Kehidupan pasangan muda ini ikut terdampak. Mereka harus menyesuaikan diri dengan kehidupan baru mereka sebagai suami-istri, situasi negara yang sedang tidak pasti, penghasilan Pinneberg yang pas-pasan dan ancaman pemecatan yang bisa terjadi kapan saja, serta kehidupan yang akan makin kompleks saat anak mereka lahir.
Novel ini menggambarkan realistis tentang kehidupan pasangan muda yang baru membina rumah tangga dan menjadi orang tua baru bagi anaknya. Ada banyak kekonyolan yang mereka buat selama proses belajar dan bagaimana mereka berupaya mengekspresikan kasih sayang satu sama lain. Ada pula gambaran tentang hubungan orang tua dan anak serta menantu dan mertua.
Selain itu, kita juga bisa menyimak bagaimana kondisi ekonomi yang sulit berdampak pada peningkatan harga barang dan penurunan daya beli masyarakat. Seluruh komponen masyarakat harus beradaptasi untuk bertahan hidup. Para pengusaha terdesak melakukan berbagai perubahan, termasuk pemangkasan tenaga kerja. Sementara itu, para pekerja harus hidup dalam ancaman kehilangan pekerjaan dan harus berjuang dengan gigih untuk memastikan ada sumber penghasilan yang menghidupi mereka.
Pinneberg merupakan lelaki baik hati yang malang. Novel ini membuat kita bisa menyelami kesulitan yang dihadapi ia dan istrinya. Uang menjadi persoalan utama yang terus diangkat dan bagaimana orang-orang mendapatkan dan menggunakan uang mereka. Kita bisa menemukan kebodohan–kebodohan kecil yang kita buat saat punya uang atau kebijaksanaan yang muncul saat kita susah uang. Kita juga bisa membedakan bagaimana kecenderungan perempuan dan lelaki dalam berperilaku terkait uang. Selain itu, uang juga bisa menguji pilihan-pilihan hidup kita, termasuk nilai-nilai moral yang kita pegang.
Novel ini juga memberi gambaran tentang arti pekerjaan bagi manusia. Pekerjaan membuat manusia punya harapan hidup, sementara uang akan habis kapan saja. Karena itu, Pinneberg dan Lämmchen tidak mengandalkan bantuan uang yang mereka terima, entah dari keluarga atau teman dan dana sosial pemerintah. Ketika Pinneberg punya pekerjaan, ia punya alasan berpakaian rapih dan bersemangat merencanakan masa depan. Ketika kehilangan pekerjaan, sebagian dirinya seperti hilang. Ia juga menjadi cepat emosional.
Dalam situasi sulit, Lämmchen bertumbuh bijak. Ia menjadi mahir dalam urusan rumah tangga. Ia menjadi pendamping dan sahabat terbaik bagi sang suami. Ia bertansformasi dari gadis polos menjadi ibu rumah tangga yang pandai mengatur keuangan, memahami suaminya, menjaga sifat-sifat baik sang suami, dan bisa mencari alternatif penghasilan ketika sang suami menjadi pengangguran.
Saya menyukai novel ini. Penulisnya membuat saya terus membaca dan berharap saya akan tiba di satu bagian dimana nasib baik akhirnya menyapa kehidupan Pinneberg. Saya akan lega pada akhir bahagia dimana Pinneberg punya pekerjaan lagi dan mampu menyewa satu rumah untuk Lämmchen dan putranya. Di dapur itu, Lämmchen akan memasak dengan kompor dan beberapa panci. Ia akan belajar dari masa sulit dan lebih bijak dalam mengatur keuangan agar mereka bisa menabung lagi dan merencanakan masa depan yang lebih indah.
Sayangnya, sampai bagian akhir novel ini, sang penulis terus saja membuat saya bertanya, “Pinneberg, lelaki malang, kenapa lagi?”
Tapi setidaknya, engkau tahu apa yang penting bagi kehidupan. Masuklah ke rumah, Pinneberg. Beristirahatlah dan bangunlah lebih segar besok pagi. Kehidupan menunggumu.