Sepenggal Kenangan Bermakna Tentang Mgr. Petrus Turang

Mgr. Petrus Turang tutup usia. Kepergian Uskup Emeritus Keuskupan Agung Kupang ini merupakan kehilangan yang besar bagi banyak orang, terutama umat yang digembalakannya.

Nama Mgr. Petrus Turang pertama kali saya dengar dari bapa saya. Saat itu saya masih kanak-kanak dan belum mampu merekam banyak cerita. Kelak saya tahu, Mgr. Petrus Turang pernah menjadi Sekretaris Eksekutif Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi (PSE) Konferensi Waligereja Indonesia (KWI). Lewat kegiatan-kegiatan PSE–KWI inilah perkenalan dan interaksi bapa dan Mgr. Turang dimungkinkan. Bapa saya kebetulan menghabiskan sebagian besar masa kerjanya di DELSOS (Delegatus Socialis) dan kemudian Komisi PSE PUSPASKUP (Pusat Pastoral Keuskupan) Amboina. Nama Mgr. Petrus Turang kemudian terekam dalam otak kecil saya karena beliau juga orang Manado seperti Bapa Uskup Petrus Canisius Mandagi, yang pernah menjabat Uskup Amboina. Perasaan nostalgia tentang Ambon, PSE, dan KWI muncul dan mengental saat saya mendengar Uskup Mandagi memberikan sambutan mewakili KWI pada misa requiem Uskup Turang di Gereja Katedral Jakarta dan cerita seseorang tentang pertemuan PSE dengan Uskup Turang di Wisma Gonzalo Veloso, Karang Panjang Ambon.

Saya tumbuh dengan mendengar bapa berbagi banyak cerita menarik tentang karya-karya misi gereja lewat DELSOS dan PSE. Kami kerap harus ditinggal sendiri untuk tugas-tugas itu. Katanya, orang PSE adalah orang-orang yang harus selalu berada di lapangan, bergerak cepat dan gesit, serta harus disiplin dan peka. Jika melihat Bapa Uskup Turang, karakteristik itu tampak kental di beliau.

Moto episkopal Pertransiit Benefaciendo, Ia berjalan sambil berbuat baik, sungguh meluaskan karya-karya pelayanan yang sebelumnya telah Mgr. Turang lakukan. Tuhan selalu memilih gembala yang tepat pada tempat dan situasi yang sesuai. Untuk itu, banyak orang sungguh mensyukuri kehadiran Bapa Uskup Mgr. Petrus Turang di NTT.

Kita akan sangat merindukan Mgr. Petrus Turang. Ia yang disiplin dan tegas tapi berhati lembut, serta dekat dengan umatnya. Kita sungguh kehilangan ia yang selalu berkeliling untuk mewartakan injil, merayakan ekaristi, berbagi kasih dan menyentuh hati banyak orang. Masing-masing kita akan mengenang, mensyukuri, dan memaknai setiap perjumpaan dan peristiwa yang kita alami bersama beliau.

Saya tidak punya interaksi secara langsung dengan Bapa Uskup Turang, selain lewat perayaan-perayaan ekaristi yang beliau pimpin. Satu yang saya ingat benar adalah saat kami belum lama pindah ke Kupang di awal tahun 2000-an dan mengikuti misa di Kapela Seminari Tinggi St. Mikhael. Itu kali pertama saya melihat beliau secara langsung. Dalam perarakan masuk menuju altar, beliau melihat bapa saya yang kebetulan duduk di ujung. Ia kemudian menyapa dengan menyenggolkan tongkat uskup-nya ke kaki bapa sambil tersenyum.

Bertahun-tahun kemudian, saat kami melalui hari-hari yang tak mudah setelah bapa pensiun, bapa sempat menemui Bapa Uskup dan pulang dengan agak kecewa. Bapa kemudian bercerita, “Saya mengeluh tentang masa sulit saya dan uskup bilang, ‘tenang Anton, burung-burung yang terbang di udara saja Tuhan pelihara, apalagi kamu, manusia yang jauh melebihi burung-burung’. Tapi Bapa Uskup tidak akan mengerti beban saya karena ia seorang imam sementara saya seorang kepala keluarga.”

Saya diam. Bapa termasuk yang paling positif di rumah, ia kerap mengutip kalimat-kalimat di Alkitab untuk membangun harapan-harapan kami. Tapi kali itu ia goyah. Hanya saja, saya percaya kalimat Bapa Uskup menyentuh hatinya, sebagaimana kalimat itu juga menyentuh hati saya. Bertahun-tahun kemudian kami tersenyum mengingat peristiwa itu. Ia telah menjadi imam dan teman yang mengerti benar kegelisahan seseorang yang ia kenal baik, sehingga ia tahu bagaimana membesarkan hati dan mengembalikan harapan-harapan yang patah. Ia telah memilih ayat paling tepat untuk memberi satu dorongan positif yang kuat dan kami perlukan di masa-masa sulit; iman pada Tuhan yang kami hidupi dan perlu terus kami pelihara, serta kepercayaan diri untuk terus berjuang seberat apapun hidup.

Sepenggal pengalaman itu membekas bersama rasa teduh yang selalu saya dapatkan setiap kali mendengar homili Bapa Uskup pada perayaan ekaristi. Ia selalu menggunakan bahasa-bahasa sederhana yang bisa dengan mudah menjangkau kita, membantu kita menemukan relevansi pengimplementasian iman dalam kehidupan harian kita.

Kenangan-kenangan kita tentang Mgr. Petrus Turang akan selalu membangkitkan rasa syukur dan haru di tengah dukacita yang kita bagi bersama. Perjalanan sang gembala sebagai pastor dan uskup sudah usai. Kehidupannya telah meninggalkan berbagai pengalaman bernilai di hati setiap orang yang mengenal dan berinteraksi dengan beliau lewat berbagai hal.

Terima kasih Bapa Uskup untuk semua karya kerasulan dan pelayananmu bagi gereja Katolik Indonesia, semua masyarakat NTT, dan semua orang yang mengenalmu lewat berbagai perjumpaan dan persitiwa kehidupan ini. Semoga Tuhan menyambutmu di rumah-Nya serta memberimu istirahat kekal dan kebahagiaan bersama orang-orang beriman dan para Kudus. Doakan juga kami yang masih berziarah di bumi ini. Selamat jalan, Bapa Uskup.

*Catatan: Foto Mgr. Petrus Turang dari Wikipedia

Share

2 thoughts on “Sepenggal Kenangan Bermakna Tentang Mgr. Petrus Turang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *