“Jika anda dapat menguasai seni muslihat, belajar merayu, memesona, menipu, dan secara halus mengalahkan lawan Anda – Anda akan mencapai puncak kekuasaan.”
_Robert Greene
Versi Ringkas 48 Laws Of Power, sebuah buku yang berisi 48 hukum tentang kekuasaan. Bagian awal buku ini sering dibicarakan seorang teman. Namun saya tak begitu tertarik dengan buku ini sampai suatu siang saya mendengar Romo Setyo Wibowo bicara tentang buku ini di satu podcast. Sorenya saya tak sengaja menemukan buku ini di Gramedia ketika mencari buku lain yang sangat ingin saya baca. Tak sampai setengah jam kemudian saya membacanya ditemani semangkuk Kinako bingsoo.
Buku ini berisi strategi-strategi ampuh meraih dan mempertahankan kekuasaan. Robert Greene mengekstrasinya dari sejarah-sejarah hebat tentang kekuasaan yang telah eksis sejak 30 abad lalu. Buku ini pertama kali terbit di tahun 1998 dan menjadi buku terlaris pertama di New York Times. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam 25 bahasa. Versi Bahasa Indonesia yang saya baca merupakan terbitan Rene Book Cetakan 20 Tahun 2025. Buku setebal 276 halaman ini diterjemahkan oleh Nadya Andwiani dan dilengkapi dengan pengantar ahli yang ditulis oleh Romo Dr. A. Setyo Wibowo.
Robert Greener, merupakan penulis Amerika yang menekuni bidang strategi, rayuan, dan ilmu manipulasi. Dengan latar belakang tersebut, buku ini cukup cemerlang mengurai bagaimana seorang manipulator ulung beraksi untuk meraih kekuasaan. Buku ini membuat saya terbelalak sejak membaca daftar isinya. Bagian ini sunggung menggugah keingintahuan saya; uraian apa yang akan saya temukan di setiap hukum yang disajikan Greene.


Tapi sebelum menelusur 48 Hukum Kekuasaan, jangan lewatkan tulisan Romo Setyo tentang Argumen Sofistik Kekuasaan. Dalam pengantar alihnya, Romo Setyo memberikan gambaran tentang kaum Sofis di Yunani pada abad ke-5 sebelum masehi. Kaum ini hadir dan mengandalkan kepandaian retorika mereka untuk meraih kekuasaan. Thrasymakhos merupakan salah satu kaum sofis yang pemikirannya disorot Romo Setyo. Pemikiran Thrasymakhos berseberangan dengan Socrates yang menganggap bahwa pemimpin harus mendahulukan orang yang dipimpinnya dan berkuasa demi kebaikan dan kepentingan orang yang dipimpinnya. Namun pikiran ini naif bagi Thrasymakhos, sebab seorang pengembala domba melakukan hal itu bukan untuk kesejahteraan domba-dombanya tapi untuk memenuhi kepentingannya; mengambil susu, daging, bulu yang bisa ia jual. Jadi, seorang pemimpin hanya terfokus pada kepentingan pribadinya yang diperolehnya dari orang-orang yang ia pimpin. Pengantar ahli ini menampilkan betapa kepemimpinan itu kejam dan amoral. Karena itu, di paragraf terakhir dalam pengantarnya, Romo Setyo berpesan agar kita “mengunyah isi buku ini dengan bijaksana, tidak boleh ditelan mentah-mentah”.
Buku ini enak dibaca karena kelihaian sang penulis mengurai realitas tentang kekuasaan. Layout bukunya juga sangat menarik. Dalam setiap hukum, ada pertimbangan terkait hukum itu, kunci-kunci meraih kekuasaan, dan sematan-sematan cerita-cerita fabel dan kutipan-kutipan menarik yang relevan dengan apa yang sementara diuraikan. Selanjutnya setiap uraian hukum ditutup dengan ‘gambar’ dan ‘otoritas’. Keduanya membantu kita membayangkan bagaimana kekuasaan diraih, digunakan, dan dipertahankan.
Hukum pertama kekuasaan dalam buku ini adalah jangan pernah lebih cemerlang dari atasan kita. Kita yang telah bekerja pasti paham pada hukum ini. Di dalamnya termuat gagasan bahwa semua manusia memiliki rasa tidak aman. Karena itu, untuk meraih kekuasaan kita tidak boleh menyinggung orang lain, tidak boleh lebih hebat dari orang lain supaya aman. Talenta kita harus dipakai untuk membesarkan atasan. Ide kita tidak boleh lebih bagus dari ide atasan kita.
Selanjutnya, bagian kedua buku ini menyarankan orang-orang yang ingin berkuasa untuk tidak mempercayai teman, tapi manfaatkan musuh. Pekerjakan musuh maka dia akan lebih setia kepada teman. Untuk meraih kekuasaan dan meluluskan kepentingan kita, niat-niat kita harus tersembunyi dan reputasi mesti dijaga dengan baik.
Selain itu salah satu kunci meraih kekuasaan juga adalah dengan memanfaatkan orang lain. Kita tidak perlu bekerja dan membuang energi, tapi kita bisa memanfaatkan kebijaksanaan, pengetahuan, serta kerja keras orang lain untuk kepentingan kita. Biarkan orang lain bekerja, dan kita menikmati hasilnya. Orang-orang yang membantu akan dilupakan, tetapi penguasa akan dikenang. Jika ada orang yang menghambat kepentingan penguasa, maka mereka perlu dihabiskan sampai tuntas.
Buku ini memberikan gambaran bahwa kekuasaan seperti magnet. Orang-orang berkuasa akan menjadi orbit bagi orang lain dan puncak dari kekuasaan adalah bisa membuat orang lain melakukan apa yang menjadi keinginan kita, bahkan dengan sukarela.
Setiap hukum ditopang contoh-contoh sukses para penguasa dalam sejarah dunia. Karena itu, buku ini bisa menjadi pegangang untuk meraih kekuasaan. Buku ini layak dibaca siapa saja yang mendambakan kekuasaan, mengamati kekuasaan, atau ingin membekali diri untuk menentang kekuasaan. Greene memang hebat dalam mengurai isi kepala penguasa, pembaca bisa dibuat geram sekaligus kagum.
Saya pribadi tidak menyepakati strategi-strategi meraih kekuasaan atau praktik-praktik penguasaan yang tak etis atau tak bermoral. Tapi dalam realitas, gambaran Greene itu nyata. Betapa naif jika kita mempercayai ada nilai moral yang dipegang penguasa. Buku ini mungkin bisa menjebak kita untuk mengimplementasikan strategi-strategi cemerlang dalam meraih kekuasaan.
Meski begitu, ada bagian-bagian tertentu yang bisa kita ambil dan maknai secara positif. Jika deskripsi power sebagai kekuasaan membuat buku ini tampak negatif, mungkin bisa kita maknai power sebagai kekuatan. Saya kemudian menerima buku ini tidak hanya sebagai pegangan untuk memahami realita dan dinamika kekuasaan, tetapi juga sebagai sarana untuk memahami inferioritas manusia dan kebutuhan-kebutuhan untuk lebih berdaya dalam berbagai hal.
Dalam pandangan seperti itu, ada strategi-strategi meraih kekuasaan yang bisa kita kembangkan untuk membangun kepercayaan diri, menghindari manupulasi orang lain, dan awas terhadap bahaya disekitar kita, termasuk di dalamnya membangun ketahanan diri saat ditekan penguasa. Beberapa diantaranya adalah menjaga reputasi dan citra diri sesuai kompetensi kita, tahu waktu yang tepat untuk merespon keadaan, lebih fokus bertindak daripada berbicara, serta berlaku bijaksana dan elegan dalam memperjuangkan kepentingan kita.
Robert Greene tidak menutupi realita kekuasaan dalam bukunya. Ia membukanya apa adanya bagi kita. Buku ini bisa membantu kita merefleksikan secara lebih mendalam kekuasaan yang mungkin hidup di dalam diri kita dan sekitar kita. Buku ini sungguh pisau bermata dua, kita perlu membacanya dengan pikiran terbuka.
