
Kita mungkin pernah menjumpai orang-orang yang mengklaim diri sebagai pakar meski tak punya kapasitas-kapasitas yang mumpuni sebagai pakar. Hal ini mengingatkan saya pada satu kutipan dari Charles Bukowski; “The problem with the world is that the intelligent people are full of doubts, while the stupid ones are full of confidence.”
Siapa itu pakar dan apa itu kepakaran? Mengapa kepakaran bisa mati? Siapa yang membunuh kepakaran?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu bisa kita temukan pada Buku Matinya Kepakaran (The Death of Expertise).
Identitas Buku
Matinya Kepakaran: Perlawanan terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudarat adalah sebuah buku non fiksi yang ditulis oleh Tom Nichols. Sang penulis adalah seorang akademisi dan ahli di bidang keamanan internasional dan kebijakan luar negeri. Buku ini banyak membahas realita terkait matinya kepakaran di masyarakat Amerika. Meski begitu, isu-isu yang diangkat Nichols bisa kita saksikan di masyarakat kita juga.
Saya membaca buku ini lewat aplikasi Gramedia Digital. Versi Bahasa Indonesianya diterjemahkan oleh Ruth Meigi P. dan diterbitkan oleh KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Tebal buku ini sekitar 300 halaman dan terdiri dari sekitar 7 bagian utama.
Saya excited membaca buku ini dan menuntaskannya dalam tiga hari. Buku ini enak dibaca karena memberi pemahaman dan refleksi terkait siapa itu pakar dan apa itu kepakaran, serta realitas-realitas yang mempengaruhi integritas kepakaran dan minimnya penghargaan pada kepakaran. Kita bisa mudah mencerna buku ini karena ada banyak contoh-contoh yang diberikan untuk mendukung apa yang disampaikan sang penulis.
Matinya kepakaran membahas realita dimana kepakaran tak dihargai oleh masyarakat modern dewasa ini. Bagian awal buku ini banyak membahas tentang bias-bias kognitif, terutama bias konfirmasi dan efek Dunning-Kruger, dimana seseorang tanpa kemampuan merasa terlalu percaya diri dia memiliki kemampuan yang lebih dari orang lain. Kemudian dilanjutkan dengan bagian-bagian yang mengurai aspek-aspek yang memungkinkan matinya kepakaran.
Keprihatinan Pada Matinya Kepakaran
Dalam buku ini, Tom Nichols sangat provokatif dalam menyuarakan keprihatinannya terkait matinya kepakaran. Ia memakai banyak bahasa yang keras dan tegas dalam buku ini. Kita bisa saja berbagi kemarahan, kesedihan, atau rasa lucu karena berbagai hal menarik terkait pengabaian-pengabaian terhadap kepakaran dan kepercayaan diri yang begitu tinggi dari para awam yang berlaku pakar.
“Matinya kepakaran bukan hanya penolakan terhadap pengetahuan yang sudah mapan. Pada dasarnya ini adalah penolakan terhadap sains dan rasionalitas tak memihak yang merupakan dasar peradaban modern.” Tom Nichols – Matinya Kepakaran: Perlawanan terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudarat (hal 6)
Pernyataan itu sungguh keras! Nichols bahkan berpendapat, sekarang ini kita bukan mengabaikan tapi memusuhi pengetahuan mapan. Hal ini bisa membuat siapapun bisa menjadi dokter atau analis tanpa substansi kepakaran yang memadai.
“Setiap bidang memiliki tujuan yang berat, dan tidak semua orang dapat bertahan; itulah alasan pengalaman di bidang tertentu menjadi penanda untuk keahlian….. Pakar terus terlibat di bidangnya, terus meningkatkan ketrampilan, belajar dari kesalahan, dan memiliki rekam jejak yang jelas. Sepanjang karirnya, mereka menjadi lebih mumpuni, atau setidaknya mempertahankan tingkat kemampuan mereka, dan menggabungkan dengan kebijaksanaan-lagi-lagi, tidak dapat diukur – yang tumbuh seiring jalannya waktu.” Tom Nichols – Matinya Kepakaran: Perlawanan terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudarat (hal 40)
Sayangnya, semakin hari, kepakaran semakin mati.
Mengapa Kepakaran Mati?
Menurut Nichols, ada beberapa faktor yang memungkinkan matinya kepakaran, diantaranya:
Sifat manusiawi kita
Kita lebih suka memihak pada hal-hal yang menguntungkan kita dan menolak hal-hal yang merugikan kita. Hal ini memungkinkan kita memberi tempat pada mereka yang bukan pakar tapi memuaskan kepentingan kita. Sifat manusiawi kita memungkinkan hadirnya bias-bias konfirmasi dimana kita hanya berpihak pada informasi yang mendukung apa yang kita percayai saja. Kita juga akan menentang data-data yang menyajikan kebenaran tapi bertentangan dengan apa yang sudah kita terima sebagai kebenaran.
Sistem pendidikan tinggi
Perguruan tinggi tidak lagi menjadi tempat belajar dan pengembangan karakter, pengetahuan, dan ketrampilan. Pengelolaan universitas lebih melihat mahasiswa sebagai pelanggan dan berorientasi pada kepuasan mereka. Konsekuensinya perguruan tinggi akan memproduksi lulusan-lulusan dengan kualitas pendidikan yang tidak memuaskan.
Internet
Di era digital ini, internet memungkinkan adanya tsunami informasi. Siapa saja bisa berselancar dan meneguk informasi di internet. Siapapun merasa bisa menjadi pakar meski tak memiliki pendidikan formal atau pengalaman profesional yang menunjang suatu kepakaran. Google seperti sekolah murah yang bisa meluluskan pakar dalam sekejab. Internet memberi panggung bagi selebriti dan influencer untuk mengambil ahli pakar dalam memberi saran dan aneka pertimbangan. Kepopuleran awam begitu menguasai, dan menguburkan pendapat-pendapat pakar.
Nichols berpendapat persoalan yang terjadi sekarang bukan pada rendahnya tingkat informasi orang awam atau ketidakpedulian awam terhadap pengetahuan mapan, tapi adanya permusuhan terhadap pengetahuan. Sebenarnya adanya ketegangan antara pakar dan orang awam telah ada sejak lama, tapi jumlahnya tak sebanyak sekarang. Dulu orang awam tidak punya cara-cara subtantif untuk menentang pakar, sekarang internet memungkinkan siapa saja bisa percaya diri berlaku sebagai pakar.
Jurnalisme gaya baru
Dengan adanya internet, banyak pemberitaan yang kejar tayang tanpa proses pengecekan fakta yang cermat. Akibatnya media bisa menyuapi masyarakat dengan informasi-informasi yang kurang mapan maupun keliru.
Kesalahan pakar
Pakar juga bisa berbuat salah, terutama ketika pakar terlibat dalam membuat prediksi. Hal ini sering terjadi karena orang awam dan pembuat kebijakan cenderung menyukai prediksi sehingga pakar seringkali setuju untuk melayani hal itu. Pakar juga bisa terlibat dalam penipuan atau berbuat curang. Karena itu, kita butuh pakar lain untuk mengidentifikasi kekeliruan pakar karena orang awam biasanya tidak punya kapasitas untuk melihat hal ini. Termasuk juga dengan apa yang disampaikan di halaman 216; “orang-orang awam tidak siap meneliti studi sains.”
“Banyak orang mengaku dirinya pakar atau intelektual. Kadang itu benar, namun tak jarang pengakuan diri seperti itu justru berakibat lebih buruk daripada sekitar menyesatkan” Matinya Kepakaran: Perlawanan terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudarat (hal 34)
Sebagai kesimpulan, Nichols menghubungkan pakar dan demokrasi. Disini pakar dan pemerintah saling membutuhkan dan kepercayaan perlu dibangun antara mereka dan masyarakat. Kita butuh pendapat pakar untuk menghadapi masalah-masalah yang kompleks seperti perubahan iklim. Masyarakat harus memiliki informasi yang cukup untuk membuat keputusan-keputusan yang tepat. Masyarakat juga perlu paham, pakar memang memberi saran pada pengambil kebijakan tapi mereka tidak pernah mengontrol bagaimana para pemimpin menerapkan saran mereka. Pakar juga seringkali tidak terlalu jauh terlibat dalam perumusan dan eksekusi kebijakan dan tidak mengontrol sejauh apa para pejabar memanfaatkan saran mereka. Mereka tidak menawarkan alternatif tapi tidak mendikte apa yang harus dilakukan masyarakat.
Kita Sungguh Butuh Kepakaran!
Buku ini berbagi solidaritas bagi siapa saja yang menghadapi tantangan matinya kepakaran dan prihatin terhadap fenomena ini. Dalam kerja profesional kita, saya yakin, banyak dari kita mengalami pengabaian terhadap pengetahuan mapan yang kita kuasai melalui suatu pendidikan formal atau pengalaman kerja bertahun-tahun. Sekalipun kita berkecimpung di bidang sains, matematika, maupun teknik yang cenderung memiliki standar dan ukuran ketat untuk menilai reliabilitas informasi, namun seringkali hal ini juga disepelekan begitu saja oleh awam. Kerapkali para awam merasa bebas melecehkan pengetahun-pengetahun mapan, sementara para pakar gelisah dengan tanggung jawab moril untuk menyuarakan kebenaran.
Lewat buku ini, kita bisa memetik banyak refleksi terkait kepakaran dan konsekuensi yang akan kita panen jika kepakaran mati. Hal ini kiranya bisa membuat kita peka terhadap kepakaran yang ada di sekitar kita dan memberi ruang bagi pakar untuk memandu menyelesaikan sebuah masalah sesuai dengan kepakarannya. Selain itu, kita juga perlu menyadari ruang lingkup kepakaran kita.
“Sebagian besar penyebab ketidaktahuan dapat diatasi jika masyarakat bersedia belajar. …. Berhadapan dengan ketidaktahuan publik, pakar kalah.” Matinya Kepakaran: Perlawanan terhadap Pengetahuan yang Telah Mapan dan Mudarat (hal 284)
Dua kalimat itu menggambarkan pesimisme Nichols ketika menutup bukunya. Tapi, semoga para pakar tidak kehilangan semangat mereka dalam berkarya. Semoga juga para awam bisa lebih rendah hati untuk mau belajar, cermat meneliti informasi, dan terbuka pada masukan pakar. Dengan begitu kita bisa memberi ruang bagi kepakaran, mampu bersikap kritis dan mengelola informasi yang kita terima sebelum membuat keputusan-keputusan penting dalam hidup kita.