
Selamat hari internasional Perempuan dan Anak Perempuan dalam Sains!
Tanggal 11 Februari merupakan hari kelahiran Marie Curie, ilmuan Fisika dan Kimia yang merupakan perempuan pertama yang meraih dua nobel sains di dua bidang yang berbeda. Tanggal ini kemudian dipilih Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai hari Perempuan dan Anak Perempuan Internasional dalam Sains untuk mengapresiasi pencapaian para perempuan di bidang sains dan mendorong anak-anak dan remaja perempuan untuk melanjutkan pendidikan dan berkarir di bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics: Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika).
Mari rayakan hari ini jika kamu termasuk perempuan yang menekuni bidang-bidang STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics: Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika).
Saya menimbang diri saya sebagai perempuan di bidang STEM. Saya belajar kimia dan ilmu lingkungan, serta menggunakan metode-metode saintifik dalam pekerjaan saya di bidang lingkungan hidup. Ada kebahagiaan tersendiri bagi saya saat belajar dan berkarir di bidang yang masih relevan dengan apa yang saya pelajari di kampus. Namun di hari spesial ini, saya juga mengingat semua rekan perempuan lulusan STEM yang mungkin tak memiliki kesempatan yang sama karena berbagai alasan.
Ada banyak tantangan yang perempuan hadapi di berbagai aspek dalam kehidupan ini, termasuk di bidang STEM. Hal ini semakin menarik perhatian saya, terutama ketika satu kelas di program master saya membahas secara khusus isu itu. Lebih menariknya, dosen pengampunya seorang professor laki-laki. Ia telah beberapa tahun mendedikasikan satu sesi di kelas itu untuk secara khusus membahas tantangan yang dihadapi perempuan di bidang sains.
Mengapa Membahas Perempuan di Bidang STEM?
Tidak banyak perempuan yang menekuni bidang-bidang STEM.
Meskipun akses pendidikan telah terbuka luas bagi para perempuan, secara global tingkat partisipasi perempuan di angkatan kerja masih relatif rendah (48.7%) dibandingkan laki-laki (73.0%). Ketimpangan ini bervariasi di berbagai negara. Di Indonesia, misalnya tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan sekitar 52.7%, jauh lebih rendah dibandingkan lelaki yaitu 80.6%.
Partisipasi perempuan di bidang STEM pun relatif rendah. Merujuk pada data The American Association of University Women (AAUW), proporsi perempuan di angkatan kerja bidang STEM hanya 34% dan lebih banyak lelaki yang belajar STEM di perguruan tinggi dibandingkan perempuan. Sementara itu, data UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) Tahun 2021 menunjukkan bahwa persentase peneliti perempuan di bidang STEM di Asia Pasifik hanya 23.9%, jauh lebih rendah dibandingkan persentase rata-rata secara global, 29.3%.
Data-data tadi menunjukkan bahwa kita masih perlu terus mendorong anak-anak dan remaja perempuan untuk belajar STEM di perguruan tinggi. Selain itu, para perempuan lulusan STEM pun perlu didorong untuk lebih percaya diri berkarir di bidang tersebut.
Mengapa Kita Butuh Perempuan di Bidang STEM?
Bidang-bidang STEM sangat kita butuhkan di era digital sekarang, terutama dalam pengembangan dan pemanfaatan teknologi-teknologi informasi dan komunikasi di berbagai bidang. Para profesional di bidang STEM juga semakin kita butuhkan untuk menangani isu-isu lingkungan yang semakin kompleks, seperti perubahan iklim, pencemaran lingkungan, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Jangan lupa pula, kita butuh pertimbangan pakar-pakar STEM untuk membuat keputusan-keputusan rasional di era post-truth seperti sekarang.
Adanya keterlibatan perempuan dalam bidang STEM memungkinkan keberagaman ide dan pendekatan-pendekatan strategis yang menjangkau berbagai lapisan masyarakat. Pekerjaan di bidang STEM juga memungkinkan perempuan bisa mandiri secara finansial dan ikut berkontribusi bagi kesejahteraan keluarga dan pembangunan masyarakat di suatu negara.
Tantangan Perempuan di Bidang STEM
Para perempuan yang menekuni bidang-bidang STEM seringkali mengalami impostor syndrome. Keraguan pada diri sendiri kerap membuat perempuan enggan menyuarakan pendapatnya atau ragu-ragu dalam menjalankan tanggung-jawab yang lebih besar atau lebih banyak.
Tantangan yang dihadapi perempuan tentu tidak mudah ditangani apalagi bidang STEM dianggap sebagai dunianya lelaki. Para lelaki dianggap lebih berbakat di STEM daripada perempuan. Keyakinan ini bisa datang dari dalam keluarga, para guru, dan masyarakat luas.
Dalam dunia yang didominasi lelaki, isu-isu pelecahan seksual tentu menjadi sesuatu yang kita kuatirkan. Hal ini bisa ada di bidang STEM juga, meski belum ada data statistik yang membantu kita mengurainya.
Terlepas dari tantangan itu, kita patut bangga, banyak perempuan yang belajar STEM tak kalah pandai dengan para lelaki. Mereka bisa menampilkan prestasi-prestasi akademis yang gemilang dan berhasil meraih gelar sarjana. Tapi perjalanan setelah itu lebih menantang lagi. Tidak semua perempuan yang belajar STEM bisa meneruskan karir di bidang itu. Separuh banting stir karena pekerjaan-pekerjaan STEM umumnya mempersyaratkan waktu kerja yang panjang dan berat.
Mari ambil contoh pekerjaan sebagai analis di sebuah laboratorium lingkungan. Jika ada pemantauan maka akan ada satu rangkaian pekerjaan yang panjang dari preparasi reagen dan kalibrasi alat-alat sampling, lalu kegiatan sampling, analisa, dan pengolahan data. Proses analisa membuat kita seperti terkurung di laboratorium. Pekerjaan tak bisa ditinggalkan sebelum selesai. Dalam keterbatasan fasilitas laboratorium, kadang kita hanya bisa menerapkan metode-metode konvensional dengan waktu kerja yang relatif panjang. Kadang jika ada gangguan maka pekerjaan harus diulang dari awal. Pekerjaan ini seringkali meletihkan.
Konsekuensi ini sebenarnya telah disadari orang-orang sains lewat pengalaman-pengalaman bekerja di laboratorium selama kuliah dan penelitian. Hal ini kerap menjadi pertimbangan untuk tidak lagi menjerumuskan diri pada kegiatan yang sama di pekerjaan atau berhenti di tengah jalan setelah satu perjalanan karir yang pendek.
Saat memasuki dunia kerja, perempuan akan kembali menghadapi berbagai bias gender dan streotip yang menempatkan mereka pada pilihan dilematis untuk melanjutkan perjalanan mereka di bidang STEM. Mereka akan kembali berhadap dengan anggapan bahwa STEM adalah dunia laki-laki, perempuan akan kesulitan disana. Mereka mungkin akan memikirkan peran-peran mereka selanjutnya sebagai istri dan ibu. Hal ini membuat mereka dihadapkan pada pertanyaan tentang apakah mereka bisa menyeimbangkan kewajiban karir dan peran mereka di rumah tangga. Tanpa dukungan pasangan dan keluarga, perempuan akan memilih tidak berkarir di bidang STEM.
Mereka yang bertahan tetap berkarir di bidang STEM selanjutnya akan butuh upaya besar untuk mencapai posisi-posisi puncak. Pengembangan karir perempuan bisa saja melambat karena terpotong waktu cuti hamil dan melahirkan. Selain itu, pengembangan karir mungkin membutuhkan peningkatan kapasitas diri lewat pelatihan-pelatihan dan pendidikan lanjut di level master dan doktor. Sekali lagi, dukungan keluarga sangat mereka perlukan karena mereka perlu merantau atau membagi perhatiannya untuk proses belajar.
Perempuan di Bidang STEM Perlu Didukung
Tentu saja perempuan membutuhkan lingkungan kerja yang mendukung tanggung jawabnya sebagai seorang profesional sekaligus istri dan ibu. Kita perlu melihatnya bukan sebatas upaya perempuan untuk menjadi sama seperti para laki-laki, tapi memberi kesempatan kepada talenta-talenta berbakat untuk ikut berkontribusi bagi kemajuan suatu organisasi, masyarakat, atau bangsa.
Tidak semua orang bisa bertahan belajar sains. Kita butuh ketertarikan selain kemampuan. Sains tidak melulu tentang pengetahuan tapi ketrampilan. Ada investasi waktu untuk memproduksi talenta-talenta unggul yang memiliki pola pikir dan latihan mental tertentu di bidang STEM. Unsur-unsur dalam tabel periodik, misalnya bisa dihafal dengan menyanyikan jembatan kambingnya; Beli (Be)-Mangga (Mg) -Campur (Ca) -Sari (Sr) -Banyak (Ba)-Rasanya (Ra). Namun sifat-sifat unik setiap unsur dan persenyawaannya tidak bisa dipahami hanya dengan menghafal. Selain itu, melatih sepuluh orang awam untuk bisa menggunakan pipet tetes dengan mahir di laboratorium tidak sama dengan memiliki satu sarjana sains yang memiliki expert judgement terhadap bahan-bahan kimia yang dipindahkan dengan pipet.
Ketika ada banyak perempuan yang terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan STEM, mereka akan mampu menemukan dukungan-dukungan yang diperlukan. Laboratorium lingkungan di tempat awal saya bekerja didominasi perempuan. Lingkungan ini lebih bersahabat dimana pembagian kerja bisa diatur sehingga analis perempuan punya kesempatan luas untuk menyusui atau mengurus anak. Saya kira hal yang sama bisa terjadi dalam lingkungan kerja dimana proporsi laki-laki dan perempuan cukup berimbang. Jika perempuan terlalu minoritas, kita mungkin memerlukan para lelaki yang mau paham dan memandang para perempuan sebagai patner kerja bukan penghambat kerja.
Dukungan para lelaki juga akan membantu para perempuan menangani impostor syndrome. Saya sangat merasakan ini melalui dukungan teman-teman dan dosen-dosen lelaki dari kampus saya. Mereka mendorong dan memberikan dukungan-dukungan yang saya perlukan untuk melanjutkan pendidikan. Di studi master saya, kelemahan kognitif saya tentang pemetaan banyak ditunjang dukungan-dukungan dosen, tutor, dan teman-teman lelaki dalam kelompok belajar saya. Sepulang sekolah, saya sempat give up untuk memakai software pemetaan dalam pekerjaan saya tapi dukungan teman-teman lelaki saya sangat membantu dalam menumbuhkan kepercayaan diri saya.
Dalam kerja-kerja profesional di berbagai bidang STEM, sejauh perempuan diberi kesempatan sebagai patner yang setara, pertukaran-pertukaran ilmu akan dimungkinkan untuk menemukan pendekatan-pendekatan terbaik terhadap suatu isu.
Kita juga perlu menimbang bagaimana perempuan-perempuan STEM dalam organisasi-organisasi yang tidak berbasis sistem merit dan didominasi laki-laki tanpa background STEM. Pendapat profesional perempuan STEM bisa rentan tidak berarti sama sekali. Kadang diskusi profesional untuk decision-making yang rasional tidak bisa kita upayakan ketika pertimbangan teknis dan fakta ilmiah harus berhadapan dengan argumen-argumen ad hominem dan seksiskarena adanya ketimpangan dasar ilmu untuk memahami satu isu.
Dalam menghadapi aneka tantangan, kita perlu memikirkan dukungan-dukungan yang tidak membuat perempuan STEM membunuh ilmu dan ketrampilan yang mereka miliki, melainkan sebisa mungkin terus mengembangkan diri. Sejauh pengalaman, proses-proses belajar yang terbuka bagi perempuan-perempuan STEM akan memungkinkan mereka menemukan sarana-sarana pengimplementasian talenta yang mereka miliki.
Penutup
Mari kita rayakan hari istimewa ini. Para perempuan-perempuan STEM di sekitar kita akan menjabar lebih banyak cerita daripada yang saya tulis disini. Dengarkan suara mereka! Pahami tantangan yang mereka hadapi dan beri dukungan yang diperlukan. Saya juga berharap semua teman-teman perempuan saya yang menekuni bidang STEM tidak kehilangan kepercayaan dirinya oleh berbagai tantangan. Kita kadang harus berhadapan dengan pilihan-pilihan dilematis, tapi jangan mengecilkan diri. Pola pikir seorang STEM bisa diaplikasikan ke berbagai hal, selain pekerjaan-pekerjaan di bidang STEM. Kita yang berkarir di bidang STEM bisa terus bertumbuh. Banyak beasiswa yang terbuka bagi para perempuan. Era digital memungkinkan kita bisa menjelajah banyak informasi untuk belajar mandiri atau mengikuti kursus online. Teruslah bertumbuh, temukan pola-pola adaptasi yang sesuai saat berhadapan dengan situasi-situasi tidak beruntung.