Pada Tahun 2015, Paus Fransiskus mengeluarkan ensiklik keduanya yang berjudul Laudato Si’: on the care for our common home (Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama). Ensiklik ini berisi seruan-seruan iman dan kesusilaan untuk merawat bumi, rumah kita bersama. Ensiklik ini tidak hanya ditujukan kepada orang Katolik saja, tapi juga semua orang di seluruh dunia yang peduli pada isu-isu lingkungan.
Saya mengenal Laudato Si’ lewat film The Letter, A Message for Our Earth. Film dokumenter karya sutradara Nicholas Brown ini mempromosikan gerakan-gerakan perawatan bumi yang diserukan Paus Fransiskus lewat ensiklik tersebut. Film ini memungkinkan kita mendengar suara-suara kaum muda, masyarakat adat, ilmuan, dan masyarakat yang sangat terdampak perubahan iklim.
Lewat film itu akhirnya saya membaca dokumen Laudato Si’ dalam versi Bahasa Inggris. Sayang, saya hanya melahap beberapa bagian awalnya saja. Saya mulai terdorong membaca lagi Laudato Si’ saat kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia pada September 2024 lalu. Kali ini saya membaca versi Bahasa Indonesia-nya. Saya mengakses dokumen tersebut lewat situs dokpenkwi dan Keuskupan Surabaya.
Terus terang, jauh lebih baik membaca ensiklik ini dalam bahasa ibu kita. Saya begitu antusias saat pertama kali membacanya. Antusiasme itu kemudian membawa saya untuk membaca lagi beberapa kali. Dokumen ini memang sebaiknya dibaca beberapa kali jika memang kita tertarik menggali lebih dalam isi setiap babnya. Pada tahap ini, saya kira akan jauh lebih baik jika dokumen ini didiskusikan bersama dalam satu komunitas yang berbagi kepedulian yang sama terhadap isu-isu lingkungan atau ingin mencari solusi-solusi untuk mengatasi persoalan itu.
Saya membaca dokumen itu sebagai seorang katolik yang kebetulan belajar ilmu lingkungan dan bekerja di bidang tersebut. Hal ini memberikan alasan bagi antusiasme dan ketertarikan saya pada apa yang disampaikan dalam dokumen itu. Hal itu juga yang mendorong saya ingin berbagi beberapa hal yang berkesan bagi saya lewat tulisan ini.
Laudato Si’ merupakan dokumen yang cukup kaya, karena itu tulisan ini akan panjang, sehingga saya membaginya dalam dua bagian. Semoga siapapun yang membaca bagian ini akan meneruskan ke bagian selanjutnya.
Lewat Laudato Si’ kita akan menangis bersama bumi dan mereka yang kurang beruntung di bumi. Dua tangis itu meminta perhatian kita pada isu-isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
Arti dan Sejarah Singkat Laudato Si’
Laudato Si’ : On Care For Our Common Home (Tentang Perawatan Rumah Kita Bersama) lahir dari keprihatianan Paus Fransiskus terhadap berbagai isu lingkungan yang mempengaruhi keberlangsungan ekosistem dan kehidupan manusia.
Secara harafiah Laudato Si’ bermakna “Terpujilah Engkau”. Kata ini diambil dari Kidung Makhluk Hidup karya Santo Fransiskus dari Assisi. Makna Laudato Si’ bisa kita temukan pada halaman pertama di bagian pengantar dokumen ini.
“Laudato Si’, mi’ Signore – Terpujilah Engkau, Tuhanku.”
Santo Fransiskus Asisi merupakan tokoh penting dalam gereja katolik. Ia terkenal dekat dengan alam dan makhluk hidup. Ia juga menjadi teladan hidup dalam kesederhanaan, kesalehan, kecintaan terhadap alam dan makhluk hidup lainnya, serta kasih sayang dan pelayanan terhadap kaum miskin. Kehidupannya menginspirasi Kardinal Jorge Mario Bergoglio untuk menggunakan nama Fransiskus saat terpilih menjadi Paus pada Tahun 2013 dan membawa gereja katolik untuk menghidupi karya-karya misi Santo Fransiskus Asisi.
Cerita tentang lahirnya Laudato Si’ bisa kita temukan, misalnya, pada halaman 32–38 buku Mari Bermimpi: Jalan Menuju Masa Depan yang Lebih Baik. Buku ini merupakan kolaborasi Paus Fransiskus dan jurnalis Austen Ivereigh.
Dalam penyusunan Laudato Si’, Paus Fransiskus meminta sejumlah ahli iklim dan lingkungan hidup untuk mengumpulkan data-data terbaik dan tersedia tentang kondisi planet kita. Selanjutnya, ia meminta para teolog merefleksikan data-data tersebut. Hal ini membuat Laudato Si’ cukup kaya dalam mengurai fakta-fakta saintifik dan refleksi-refleksi teologis terkait alam semesta dan panggilan hidup manusia untuk merawatnya.
Laudato Si’ terbit beberapa bulan sebelum Konferensi Para Pihak ke-21 (Conference of the Parties, COP 21) untuk Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC, United Nations Framework Convention on Climate Change). Dari pertemuan ini lahirlah Paris Agreement (Kesepakatan Paris). Kesepakatan ini masih menjadi rujukan bagi target penurunan emisi gas rumah kaca. Melalui Paris Agreement, para perwakilan bangsa-bangsa berkomitmen untuk membatasi peningkatan suhu global sampai 1,50C. Lahirnya kesepakatan itu tak luput dari kontribusi Laudato Si’ dalam mendorong adanya komitmen politik untuk mengatasi dampak-dampak buruk perubahan iklim.
Muatan Dokumen
Laudato Si’ bukan dokumen yang berat. Seruan-seruan moral dan kesusilaan disampaikan dengan bahasa-bahasa sederhana dan alur penulisan yang memudahkan kita menyerap apa yang disampaikan.
Ensiklik Laudato Si’ terdiri dari enam bab, 246 paragraf bernomor, dan 172 catatan kaki yang mengutip karya para paus sebelumnya, konferensi uskup, filsuf, penulis spiritual, dan komunitas internasional, dengan seringkali merujuk pada Deklarasi Rio Tahun 1992 tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan serta dokumen-dokumen perubahan iklim PBB.
Keenam bab dalam Laudato Si’, yaitu;
- Apa yang Terjadi dengan Rumah Kita
- Kabar Baik Penciptaan
- Akar Manusiawi Krisis Ekologis
- Ekologi Integral
- Beberapa Pedoman untuk Orientasi dan Aksi
- Pendidikan dan Spiritualitas Ekologi
Keenam bab tersebut sebaiknya dibaca secara berurutan. Susunannya memungkinkan kita menangkap pesan mengapa kepedulian pada bumi penting, apa relevansinya dengan iman yang kita hayati, serta apa hubungannya dengan dimensi-dimensi sosial, politik, ekonomi, dan budaya dalam kehidupan manusia.
Bab dua merupakan bab yang khusus membahas tentang iman katolik dengan mengangkat hikmat kisah-kisah Alkitab. Fokus utama disini adalah tinjauan teologis tentang penciptaan dan eksistensi manusia dalam relasi dengan Tuhan, sesamanya, dan bumi. Hal ini memberi refleksi tentang adanya panggilan iman untuk membangun relasi-relasi yang harmonis dengan bumi dan sesama.
Spiritualitas Kristen terkait relasi-relasi tadi kemudian muncul lagi di bagian terakhir, setelah pertobatan ekologis diserukan. Bagian-bagian terakhir memberikan refleksi-refleksi (diantaranya) tentang bagaimana orang beriman dapat berjumpa dengan Sang Pencipta tanpa melarikan diri dari dunia dan menyangkal alam dan makna istirahat kontempelatif. Selain bab dua, bab-bab lain lebih banyak mengurai persoalan-persoalan kompleks yang menagih kepedulian kita. Cakupan pembahasan tentang persoalan lingkungan cukup luas, dari polusi dan kerusakan lingkungan, krisis air, dan ancaman hilangnya keanekaragaman hayati sampai proses-proses pengambilan keputusan, seperti perumusan kebijakan lingkungan, serta penilaian dampak dan risiko lingkingan. Isu-isu lingkungan juga dikaitkan dengan isu-isu ketimpangan, paradigma teknokratis, dan antroposisme modern.
Iman dan Kesadaran Ekologis
Saya pribadi sangat mensyukuri kehadiran dokumen ini. Saya menerima dokumen ini sebagai sesuatu yang memperkaya pengetahuan saya tentang pandangan gereja terkait isu-isu lingkungan dan media untuk menggali makna panggilan hidup saya sebagai manusia pada umumnya dan profesional di bidang lingkungan hidup secara khusus.
Saya cukup terkesan dengan cakupan isu-isu lingkungan yang diangkat. Dalam bingkai sebuah surat apostolik bagi semua orang, tentu kita tidak bisa menagih kedalaman isu yang disampaikan. Siapapun profesional yang membaca ini, bisa mengembangkan aspek-aspek yang dibahas dengan contoh-contoh kasus yang rutin kita jumpai. Pada bagian ini, saya membayangkan isu-isu polusi yang kurang populer seperti polusi cahaya dan kebisingan yang cukup punya dampak signifikan bagi eksistensi keanekaragaman dan kesehatan masyarakat atau dimensi-dimensi institutional yang menantang dalam proses-proses perumusan kebijakan lingkungan dan penilaian dampak serta risiko lingkungan. Karena itu, akan jauh lebih menarik jika ada pengembangan diskusi dari aspek-aspek yang diangkat dalam dokumen ini.
Dokumen ini juga bisa menjadi kompas moral untuk membangun kesadaran ekologis. Bagi saya refleksi iman dalam dokumen ini perlu direnungkan secara personal. Konsep istirahat kontemplatif merupakan sesuatu yang sangat berkesan bagi saya. Hal ini bagi saya sangat relevan dengan situasi dunia saat ini, dimana kita serba terburu-buru dalam memutuskan sesuatu. Hal ini kerap tidak menguntungkan kita secara pribadi. Dalam proses-proses pengambilan keputusan di bidang lingkungan pun hal ini kerap membuat kita mengabaikan irama alam demi memuaskan kepentingan manusiawi kita.
Penutup
Agama dan ilmu pengetahuan tentu menawar pendekatan yang berbeda dalam melihat realita. Laudato Si’ memberikan pandangan-pandangan yang menawar kita untuk berdialog dengan diri sendiri dan orang lain tentang bagaimana kita memaknai eksistensi kita sebagai penghuni bumi, manusia, dan makhluk ciptaan Tuhan.
Lebih jauh tentang apa yang ada di dalam Laudato Si’ akan saya bahas di bagian kedua.

1 thought on “Laudato Si’ : Sebuah Seruan Untuk Merawat Bumi (Review dan Refleksi Bagian 1)”