Hari Bumi, Laudato Si’, dan Environmental Decision-Making

Tanggal 22 April diperingati sebagai hari bumi. Sehari sebelumnya, Vatikan mengabarkan kepergiaan Paus Fransiskus. Hal ini sungguh membuat banyak orang sedih karena pengaruh Paus Fransiskus yang besar bagi dunia. Ia telah menyentuh hati banyak orang lewat kesederhanaan serta kepeduliaanya yang besar pada isu-isu kemanusiaan, termasuk isu lingkungan. Laudato Si’: On Care for Our Common Home merupakan Ensiklik keduanya yang sangat populer karena menyerukan panggilan moral untuk perawatan bumi, rumah kita bersama. Ensiklik ini rasanya makin spesial saat dibaca di Hari Bumi.

Peringatan Hari Bumi Tahun 2025 mengusung tema “Our Power, Our Planet”, “Kekuatan Kita, Bumi Kita”. Dalam tema itu, percepatan transisi energi terbaharukan (renewable energy) didorong untuk mengatasi krisis iklim.

Saya tidak terlibat dalam bidang tersebut sehingga tidak bisa terlalu jauh berefleksi terkait upaya-upaya transisi energi terbaharukan. Karena itu, tulisan ini akan lebih banyak memuat refleksi terkait tujuan peringatan Hari Bumi: untuk meningkatkan kesadaran global dalam perawatan bumi. Tema ini sejalan dengan seruan moral dalam Ensiklik Laudato Si’. Refleksi saya juga akan saya kaitkan dengan beberapa aspek dalam environmental decision-making.

Bumi adalah Rumah dan Harta Kita Bersama

Lingkungan alam adalah harta kita bersama, warisan seluruh umat manusia, tanggung jawab semua orang. Jika sesuatu dijadikan milik kita sendiri, itu hanya untuk mengelolanya demi kesejahteraan semua. Jika tidak, kita memberatkan hati nurani kita dengan beban menyangkal keberadaan orang lain.” Laudato Si’, p.95.

Bab pertama Ensiklik Laudato Si’ mengajak kita untuk melihat apa yang terjadi dengan bumi, rumah kita. Disini ada gambaran tentang tiga krisis lingkungan yang saling berkaitan di bumi ini (triple planetary crisis): perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Ketiganya mempengaruhi penurunan kualitas hidup manusia, kemerosotan sosial, dan berbagai ketimpangan global.

Krisis lingkungan ini membawa pikiran saya pada konsep-konsep kesetimbangan kimia, pertukaran energi, dan hukum termodinamika kedua – semua proses yang alami dan seimbang akan selalu bergerak ke arah yang lebih kacau. Eksplorasi sumber daya alam di bumi akan meningkatkan entropi sistem.

Sejak revolusi industri pada abad ke-19, penggunaan sumber-sumber energi fosil begitu populer untuk menghasilkan energi listrik, mendukung proses-proses produksi yang memenuhi kebutuhan hidup manusia, serta memperlancar transportasi orang dan barang. Sayangnya, energi fosil (batu bara, minyak bumi, dan gas alam) tersedia dalam jumlah terbatas. Pemakaiannya secara terus menerus akan menyebabkan sumber daya itu habis terpakai. Selain itu, penggunaan energi fosil akan memproduksi gas-gas buang seperti metana (CH4) dan karbon dioksida (CO2). Pada abad selanjutnya kita mulai kewalahan mengendalikan produksi gas-gas buang sehingga mengakibatkan polusi udara, pemanasan global dan perubahan iklim.

Krisis-krisis lingkungan selalu punya domino efek pada penurunan kualitas dan keberlanjutan hidup manusia secara ekonomi, sosial, dan budaya. “Efek paling parah dari semua perusakan lingkungan diderita oleh kaum miskin” (Laudato Si’, p.48).

Menyadari kondisi bumi yang tidak baik-baik saja, kita semakin mendorong pemanfaatan renewable energy, seperti energi matahari, angin, air, dan panas bumi (geotermal). Energi-energi ini selalu tersedia di alam karena relatif mudah didaur ulang. Indonesia termasuk negara yang diberkahi dengan potensi renewable energy. Kebijakan Energi Nasional (KEN) Indonesia kemudian menargetkan 23% pencapaian bauran energi nasional dari Energi Baru Terbarukan (EBT) pada 2025. Pemanfaatan EBT dipercaya sebagai salah satu solusi untuk menekan kenaikan suhu bumi akibat emisi gas-gas rumah kaca (GRK). Terkait hal ini, sektor pasokan energi merupakan kontributor terbesar GRK secara global (sekitar 35% emisi).

Namun, transisi EBT untuk memitigasi perubahan iklim tidak bebas tantangan, karena adanya persoalan regulasi, kebijakan, dan masalah-masalah sosial di lapangan. Tantangan ini sekiranya bisa mendorong kita dalam dialog-dialog yang komprehensif dan transparan tentang bagaimana sumber daya alam dikelola dan dimanfaatkan serta dampak-dampak apa saja yang menguntungkan dan merugikan bumi dan kehidupan manusia.

Environmental Decision-Making

Pengambilan keputusan terkait lingkungan hidup (environmental decision-making) merupakan satu proses yang kompleks karena menyangkut bagaimana kita membuat pilihan-pilihan (choices) dan penilaian-penilaian (judgments) yang berdampak signifikan pada lingkungan (Hendriks et al., 2009). Definisi lingkungan disini tidak terbatas pada komponen-komponen biofisik dan kimia dalam ekosistem, tapi juga dimensi-dimensi sosial, ekonomi, budaya, dan politik dalam kehidupan manusia.

Di milenial ini, setiap keputusan harian kita punya dampak terhadap keberlanjutan lingkungan hidup kita. Sebagai contoh, keputusan untuk membawa botol minum atau membeli air mineral punya implikasi pada pengeluaran harian kita dan kualitas lingkungan (misalnya produksi sampah atau pencemaran lingkungan).

Decision-making terkait lingkungan hidup berlangsung dalam kerangka normatif atau moral yang dibentuk oleh konsep-konsep keberlanjutan (Hendriks et al., 2009). Pendekatan-pendekatan terkait decision-making ini telah mengalami berbagai evolusi sejak tahun 1970-an. Dalam bingkai keberlanjutan (sustainability), proses-proses decision-making telah terbuka pada partisipasi dan kolaborasi beragam aktor untuk mengantisipasi dampak-dampak lingkungan dan ketidakpastian-ketidakpastian di masa depan.

Dalam pengambilan keputusan terkait lingkungan, AMDAL (analisa mengenai dampak lingkungan) merupakan salah satu instrumen penting dalam perencanaan kegiatan yang sering kita andalkan. Selain itu ada instrumen pendukung lain seperti analisa dampak sosial dan analisa risiko lingkungan. Instrumen-instrumen ini membantu proses-proses pengambilan keputusan, terutama dalam proses-proses perijinan lingkungan. Disini kita berharap bisa memutuskan apakah suatu kegiatan memiliki kelayakan lingkungan dan kelayakan operasional dengan standar-standar pengelolaan lingkungan dan sistem manajemen lingkungan yang sesuai. 

Dokumen-dokumen lingkungan perlu disusun dan dibahas berbagai sektor terkait untuk memutuskan apakah suatu kegiatan memenuhi kelayakan lingkungan dan operasional. Penilaian dampak dan risiko lingkungan bersifat holistik. Penilaian dampak lingkungan mengevaluasi dampak-dampak positif dan negatif pada setiap tahap kegiatan (prakonstruksi, konstruksi, operasi, dan pasca operasi). Sementara itu, penilaian risiko lingkungan terfokus pada dampak-dampak negatif. Penilaian risiko lebih spesifik, kuantitatif, dan mengandalkan metode-metode statistik. Pada daerah-daerah rentan konflik sosial, ada baiknya kita juga memiliki dokumen analisa dampak sosial.

Tantangan Dalam Environmental Decision-Making

Dalam satu dekade terakhir, ada dorongan untuk penyederhanaan perijinan di Indonesia, termasuk perijinan-perijinan lingkungan, demi menyegarkan iklim investasi. Penilaian dampak dan risiko lingkungan yang merupakan proses ilmiah sering dianggap kondisi ideal yang sulit dicapai. Waktu pelaksanaannya pun dianggap terlalu lama. Namun, wacana penyederhanaan ini menuai penolakan karena dikuatirkan dapat menghilangkan upaya-upaya pemeliharaan dan perlindungan lingkungan hidup.

Saya membatasi diri untuk tidak mengurai terlalu detail berbagai aspek yang memungkinkan ketidakefektifan pemanfaatan instumen-instrumen perencanaan kegiatan untuk membantu decision-making. Tapi ada dua hal yang perlu kita garisbawahi, fungsi penting penilaian dampak sering dikerdilkan sebatas proses checklist belaka. Dalam kondisi ini, dokumen lingkungan mungkin saja tidak bisa dipakai sebagai sarana untuk membangun dialog-dialog intensif terkait dampak atau risiko lingkungan. Aktor-aktor dalam decision-making sekedar hadir, memberi pendapat-pendapat seadanya, dan keputusan dibuat cepat-cepat.

Proses-proses environmental decision-making sebenarnya harus mengandalkan pendekatan-pendekatan yang holistik. Proses-proses penilaian dampak memfasilitasi komunikasi dan negosiasi antara para pemangku kepentingan dan masyarakat (Morgan, 2012). Dalam Ensiklik Laudato Si’, Paus Fransikus mendorong adanya suatu pendekatan ekologi yang integral, yang memiliki dimensi manusia dan sosial. Alasan-alasan terkait hal itu terjabar begitu luar biasa dalam Bab IV.

Ketika berbicara tentang “lingkungan”, kita mengacu pada suatu relasi yang khusus, yaitu antara alam dan masyarakat yang menghuninya. Hal itu mencegah kita untuk memahami alam sebagai sesuatu yang terpisah  dari kita atau hanya sebagai kerangka kehidupan kita. Kita adalah bagian dari alam, termasuk di dalamnya, dan terjalin dengannya. Menjawab pertanyaan mengapa tempat tertentu tercemar memerlukan suatu studi tentang cara kerja masyarakat, ekonominya, perilakunya, cara mereka memahami realitas. Mengingat skala perubahan, tidak mungkin lagi untuk menemukan jawaban yang spesifik dan independen untuk setiap bagian masalah. Sangat penting untuk mencari solusi yang komprehensif yang memperhitungkan interaksi sistem-sistem alam yang satu dengan yang lain, juga dengan sistem-sistem sosial. Tidak ada dua krisis terpisah, yang satu menyangkut lingkungan dan yang lain sosial, tetapi satu krisis sosial-lingkungan yang kompleks. Solusi hanya mungkin melalui pendekatan komprehensif untuk memerangi kemiskinan, memulihkan martabat orang yang dikucilkan, dan pada saat yang sama melestarikan alam.” Laudato Si’, p.139.

Ketika para aktor dalam decision-making (terutama para pakar dan stakeholder terkait) tidak menghargai fungsi esensial penilaian dampak lingkungan, hal ini akan mempengaruhi bagaimana dokumen lingkungan disusun dan bagaimana dokumen lingkungan diperiksa atau dinilai. Analisa-analisa yang harusnya ilmiah akan menjadi sekedarnya saja. Banyak data mungkin akan memenuhi dokumen tapi tidak berbuah informasi (Data Rich-Information Poor Syndrome) (Lovett et al., 2007; Ward et al., 1986; Wilding et al., 2017). Setiap aspek dalam dokumen lingkungan itu tidak berdiri sendiri, tapi terintegrasi. Dalam dokumen lingkungan, informasi perlu dijahit menjadi narasi-narasi yang bisa membuat kita paham tentang kondisi lingkungan di suatu tempat sebelum ada kegiatan A dan apa yang akan terjadi setelah kegiatan A berlangsung. Hal ini menjadi dasar dalam dialog-dialog selama pemeriksaan atau penilaian subtantif dokumen.

Data dan informasi akan sulit sempurna atau sepenuhnya menggambarkan situasi nyata, inilah mengapa metode-metode penilaian dampak atau risiko lingkungan memberi ruang bagi expert judgement, termasuk di dalamnya penyederhanaan sistem yang kompleks, pemakaian asumsi, dan komunikasi ketidakpastian. Karena itu, tim pakar sebisa mungkin mempertahankan independensinya. Namun, pakar juga sering kesulitan menegaskan batas kepakarannya (Burgman, 2005).

Institusi lingkungan hidup juga perlu paham benar tanggung jawab utamanya dalam pemeliharaan dan perlindungan lingkungan. Kapasitas institusi lingkungan memainkan peranan penting sebagai leading sector dalam environmental decision-making. Tanpa pemahaman pada peran dan tanggung jawab, proses-proses decision-making bisa kehilangan arah. Proses-proses perijinan lingkungan bisa makan waktu ketika tim teknis tak cukup punya kompetensi untuk menilai kepakaran dan hal-hal teknis yang disajikan dalam dokumen lingkungan atau ketika tekanan publik memaksa institusi lingkungan mengambil peran pakar atau peran stakeholder lain. Karena itu, penting sekali kita punya teknokrat profesional yang mempu memfasilitasi decision-making (Morgan, 2012).

Skema waktu dalam proses-proses perijinan lingkungan tidak bisa ditawar tanpa menimbang regulasi alam. Dalam keterbatasan waktu dan biaya, pakar mesti cermat dalam memfasilitasi ketersediaan informasi yang reliable. Pakar harus mampu menjembatani pemrakarsa, dengan regulator, dan komunitas terdampak. Kita mengandalkan pakar karena mereka memiliki pengetahuan memadai dan detail tentang isu-isu lingkungan dan mampu mengkomunikasikan pengetahuannya (Burgman, 2005).

Dalam penilaian-penilaian dampak sosial-ekonomi-budaya, konsultasi publik harusnya menjadi sarana menggali apa yang menjadi perhatian masyarakat terdampak di sekitar lokasi kegiatan (secara positif maupun negatif). Disini kita akan menggali pengetahuan-pengetahuan yang melekat pada suatu tempat. Lay knowledge/traditional knowledge/indiginious knowledge menyumbang informasi-informasi berarti tentang bagaimana ketergantungan masyarakat lokal pada alam, praktik hidup mereka, sumber penghasilan mereka, dan berbagai persepsi mereka terkait lingkungan dan kegiatan yang akan dilaksanakan. Pengetahuan lokal juga menyumbang data-data terkait keanekaragaman hayati dan memungkinkan perluasan wilayah studi jika ada perhatian khusus yang disuarakan masyarakat. Yang terakhir ini, misalnya, masyarakat mungkin takut sumber airnya tercemar, tapi lokasi sumber air tidak termasuk area distribusi polusi, maka sampling perlu dilakukan juga disana karena adanya kekuatiran masyarakat. Disini data menjembatani kepercayaan terhadap sesuatu.

Dokumen lingkungan memungkinkan kita mengerti keunikan suatu lingkungan dan memberi landasan bagi kegiatan-kegiatan pengawasan lingkungan, penegakan hukum, dan mendukung perumusan-perumusan kebijakan terkait. Dalam proses decision-making, dialog-dialog terkait hal ini mesti ada. Karena itu, kita tidak boleh terpenjara dengan data yang sulit didapat, tapi bagaimana informasi lingkungan dikomunikasikan. Kegiatan-kegiatan pemantauan kualitas lingkungan yang diwajibkan setiap semester akan memungkinkan evaluasi berkala dan dorongan untuk manajemen yang adaptif terhadap perubahan-perubahan lingkungan. Penyempurnaan data dimungkinkan disini sejauh kegiatan pemantauan dan pengawasan lingkungan dilakukan dengan benar.

Jika kita benar-benar berusaha untuk mengembangkan sebuah ekologi yang mampu menanggulangi kerusakan yang telah kita adakan, maka tidak ada cabang ilmu dan tidak ada jenis kebijaksanaan yang dapat diabaikan.” Laudato Si’, p.63.

Environmental decision-making melapangkan dialog yang mengakomodir berbagai perspektif. Dalam ruang-ruang diskusi kadang tidak hanya suara komunitas terdampak saja yang kita abaikan, tapi juga kesempatan bagi para profesional dengan kepakaran teknis dan saintifik untuk memfasilitasi decision-making. Dalam sistem kerja dimana meritokrasi absen, kepakaran bisa mati (Nichols, 2021) dalam proses-proses krusial yang sangat membutuhkan pertimbangan-pertimbangan saintifik dan teknis, seperti untuk memutuskan reliabilitas informasi tentang potensi dampak atau kesesuaian sistem pengelolaan limbah/emisi dan sistem manajemen lingkungan yang diterapkan.

Membangun Kesadaran Ekologis

Sebagai seorang katolik yang terlibat secara langsung bidang lingkungan, Ensiklik Laudato Si’ memberi dukungan moral dan pedoman dalam merefleksikan keberimanan dan peran-peran yang kita mainkan dalam kehidupan. Ilmu-ilmu terkait decision-making memungkinkan kita melihat berbagai cacat dalam pertimbangan manusia, yang setidaknya membuat kita sepakat akar krisis ekologi ada dalam manusia.

Terdapat suatu cara memahami hidup dan aktivitas manusia yang keliru dan bertentangan dengan realitas dunia hingga merugikannya. Mengapa kita tidak berhenti sejenak untuk memikirkannya?” Laudato Si’, p.115.

Laudato Si’ memungkinkan kita untuk berhenti sejenak dan memikirkan secara mendalam kondisi bumi, rumah kita bersama. “Entah beriman atau tidak, kita sekarang sepakat bahwa bumi pada dasarnya adalah warisan bersama; buahnya harus menjadi berkat untuk semua.” Laudato Si’, paragraf 93. Karena itu kita butuh pertobatan ekologis sebagai bagian dari upaya kita mengatasi krisis-krisis lingkungan yang kompleks dan memastikan keberlanjutan ekosistem dan kehidupan manusia di bumi ini.

Referensi

Burgman, M. (2005). Risks and decisions for conservation and environmental management. Cambridge University Press.

Hendriks, C., Harding, R., & Faruqi, M. (2009). Environmental decision-making: Exploring complexity and context. The Federation Press.

Lovett, G. M., Burns, D. A., Driscoll, C. T., Jenkins, J. C., Mitchell, M. J., Rustad, L.,…Haeuber, R. (2007). Who needs environmental monitoring? Frontiers in Ecology and the Environment, 5(5), 253-260.

Morgan, R. K. (2012). Environmental impact assessment: the state of the art. Impact assessment and project appraisal, 30(1), 5-14.

Nichols, T. (2021). Matinya Kepakaran. KPG (Kepustakaan Popoler Gramedia).

Paus Fransiskus. Ensiklik Laudato Si. Terjemahan Martin Harun. Seri Dokumen Gereja No. 98

Ward, R. C., Loftis, J. C., & McBride, G. B. (1986). The “data-rich but information-poor” syndrome in water quality monitoring. Environmental management, 10, 291-297.

Wilding, T. A., Gill, A. B., Boon, A., Sheehan, E., Dauvin, J. C., Pezy, J.-P.,…De Mesel, I. (2017). Turning off the DRIP (‘Data-rich, information-poor’)–rationalising monitoring with a focus on marine renewable energy developments and the benthos. Renewable and Sustainable Energy Reviews, 74, 848-859.

Share

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *