
Penyakit kusta atau lepra merupakan penyakit infeksius kronis yang disebabkan oleh mikroba Mycobacterium leprae. Ilmuan G.A. Hansen menemukannya pada tahun 1873, sehingga penyakit ini dikenal pula dengan penyakit Hansen.
Penderita kusta sering menderita secara fisik dan mental. Selama berabad-abad penyakit ini dianggap sebagai kutukan atas dosa. Sampai abad ke-20, stigma negatif masih diberikan kepada penderita kusta. Mereka dikucilkan dari masyarakat, bahkan secara hukum dianggap sudah meninggal.
Meskipun penemuan Hansen membuka pemahaman tentang penyebab penyakit kusta, namun butuh bertahun-tahun untuk memahami bagaimana kusta menular dan apa obat yang ampuh menyembuhkannya. Penelitian-penelitian terkait kusta pun terus dilakukan. Alica Augusta Ball, merupakan seorang peneliti perempuan yang menjadi pioner dalam penemuan obat kusta. Sayangnya, ia tutup usia sebelum kontribusinya diketahui banyak orang. Namanya pun nyaris lenyap dari sejarah karena pekerjaannya diklaim orang lain.
Siapa Alice Augusta Ball?
Alice Augusta Ball adalah anak dari pasangan James Presley Ball Junior (1851 – 1923) dan Laura Louise Howard (1868-1945). Ia lahir di Seattle Washington pada 24 Juli 1892. Ia adalah putri pertama dalam keluarganya selain adik perempuannya, Addie. Ia juga memiliki dua saudara lelaki bernama William dan Robert.
Orang tua Alice merupakan keluarga Afrika-Amerika yang cukup berada dan dihormati di komunitasnya. Mereka juga dikenal sebagai keluarga fotografer. Profesi itu digeluti ibu, ayah, dan kakeknya. Selain sebagai fotografer, ayahnya juga seorang pengacara dan editor koran Colored Citizen, salah satu koran Afrika-Amerika yang diterbitkan di Helena, Montana.
Pada saat Alica berusia 10 tahun, keluarganya pindah dari Seattle ke Honolulu, Hawaii. Mereka pindah karena cuaca Hawaii yang hangat diharapkan dapat memberikan lingkungan hidup yang lebih nyaman bagi sang kakek, James Ball Senior yang menderita artritis. Sayangnya, sang kakek meninggal tak berapa lama setelah keluarga itu mendiami Hawaii.
Ketertarikan Pada Sains
Alice Augusta Ball terpanggil menekuni sains lewat ketertarikan keluarganya pada fotografi.
Sang kakek, James Ball Senior juga merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah fotografi. Ia merupakan salah satu orang Amerika kulit hitam pertama yang menggunakan daguerreotype, salah satu proses pembuatan foto yang menghasilkan gambar unik di atas lempeng tembaga berlapis perak. Daguerreotype ini merupakan teknik membuat foto yang pertama kali dipublikasikan di dunia dan sukses secara komersial (1839 – 1860).
Sebelum daguerreotype, proses pencetakan foto dilakukan dengan teknik heliografi. Teknik ini mengunakan bitumen (sejenis aspal) untuk melapisi plat logam yang dimasukan ke dalam kamera obcura yang kemudian dipaparkan pada cahaya dalam rentang waktu tertentu. Daguerreotype kemudian menyempurnakan teknik ini. Gambar yang dihasilkan dari teknik daguerreotype lebih jernih dan lebih tajam.
Dalam proses daguerreotype, foto akan dicetak dalam sebuah plat tembaga berlapis perak tipis yang digulung dalam kontak yang sebelumnya telah dipaparkan uap iodium sehingga terbentuk kristal perak iodida pada lempeng perak. Pemaparan dengan uap iodium dimaksudkan untuk membuat pelat tadi sensitif terhadap cahaya. Proses pengambangan plat itu juga melibatkan uap merkuri dari merkuri yang dipanaskan.
Adanya penggunaan bahan-bahan kimia dalam fotografi mendorong rasa ingin tahu Alice pada ilmu kimia. Ketertarikannya pada sains membawa ia meraih banyak prestasi di bidang itu sepanjang masa sekolahnya hingga ia mendedikasikan hidupnya sebagai seorang kimiawan.
Pendidikan
Sepeninggalan kakeknya, keluarga Alice Augusta Ball pulang kembali ke Seattle. Di kota kelahirannya ia melanjutkan pendidikannya di Seattle High Scholl dan lulus disana tahun 1910 dengan meraih nilai tertinggi di bidang sains.
Ia kemudian melanjutkan pendidikannnya di The University of Washington. Disana, ia belajar kimia dan meraih dua gelar sarjana, di bidang farmasi kimia pada tahun 1912 dan farmasi pada tahun 1914. Selama pendidikannya di The University of Washington, Alice Augusta Ball ikut menulis artikel bersama pembimbingnya, Williams Dehn. Mereka menulis artikel berjudul ‘Benzoylations in Eter Solution’ yang dipublikasikan di The Journal of American Chemical Society, salah satu jurnal terkemuka di Amerika. Hal ini merupakan pencapaian tak lazim bagi seorang perempuan terutama perempuan kulit hitam pada masa itu.
Karena prestasinya, Alice Augusta Ball kemudian mendapat tawaran beasiswa dari The University of California di Berkeley dan College of Hawai‘i (sekarang The University of Hawai). Karena keluarganya pernah tinggal di Hawaii, Alice Augusta Ball pun memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya The University of Hawai. Disana, ia meneliti dan menulis tesis tentang komposisi kimia akar tanaman kava (Piper methysticum), suatu tanaman endemik di Oseania dan polinesia yang sering digunakan untuk mengobati demam, kejang dan masalah-masalah pernapasan dan urogenital.
Penelitian tersebut membawa Alice merah gelar master di bidang kimia pada tahun 1915. Lewat pencapaian ini, ia tercatat sebagai orang dan perempuan Afrika-Amerika pertama yang meraih gelar master dari universitas tersebut. Ia kemudian menjadi Profesor Afrika-Amerika pertama di kampus itu. Ia mengabdi disana setelah tamat dan setelah itu dipromosi sebagai kepala departemen kimia.
Kontribusi Pada Penelitian Obat Kusta
Sepanjang tahun 1866–1942, pulau Molokai di Hawai menjadi tempat pengasingan bagi siapa saja yang didiagnosa menderita kusta. Pasien-pasien kusta masih harus menanggung stigma-stigma sosial yang buruk dari masyarakat. Mereka kemudian dikucilkan ke Hawai.
Sebelum adanya penggunaan antibiotik yang secara efektif mengobati kusta (tahun 1940-an), perawatan pasien kusta bergantung pada penggunaan minyak dari biji pohon Chaulmoogra (Hydnocarpus wightiana), pohon cemara tropis dalam keluarga Achariaceae yang banyak tersebar luas di seluruh Asia. Minyak chaulmoogra mengandung senyawa aktif asam hydnocarpic yang bisa menghambat pertumbuhan bakteri. Penggunaan biji pohon chaulmoogra ini sudah digunakan dalam pengobatan tradisional Cina dan India untuk menyembuhkan penyakit kulit selama berabad-abad lamanya. Penggunaannya bisa melalui konsumsi atau perawatan kulit.
Terlepas dari khasiatnya, masih ada pemahaman yang kabur tentang bagaimana obat ini bekerja. Pengobatan menggunakan minyak chaulmoogra tidak memberikan hasil yang terlalu efektif. Konsumsi obat itu secara oral akan menimbulkan rasa mual yang hebat, sehingga tidak bisa digunakan untuk pengobatan pasien kusta dalam jangka panjang. Minyak chaulmoogra juga terlalu padat dan kental sehingga jika pengobatan lewat injeksi akan menyebabkan lepuh yang menyakitkan.
Minyak chaulmoogra diharapkan bisa bersirkulasi di seluruh tubuh sehingga bisa bekerja dengan efektif. Banyak peneliti tidak puas dengan inkonsistensi bentuk alamiah minyak Chaulmoogra dalam pengobatan kusta.
Obat tersebut sebenarnya diharapkan bisa bersirkulasi di seluruh tubuh sehingga bisa bekerja dengan efektif. Untuk itu, penelitian-penelitian terkait perlu dilakukan. Dr. Harry T. Hollmann, direktur medis Rumah Sakit Kusta Kahili di Hawaii, merupakan salah satu peneliti yang berminat pada area itu. Penelitiannya terfokus pada bagaimana mengisolasi komponen aktif minyak chaulmoogra. Ketika ia mencari asisten peneliti, ia mendengar tentang Alice Augusta Ball dan mengajaknya untuk mempelajari sifat kimia minyak Chaulmoogra.
Dr. Hollmann berkeyakinan Alice memiliki energi, pengetahun dan ketrampilan yang bisa ia kontribusikan untuk penelitian penting itu. Ia tak keliru. Dalam usianya yang masih muda (23 tahun), Alice kemudian dengan tekun meneliti bagaimana caranya minyak Chaulmoogra bisa bersirkulasi dengan baik ke tubuh pasien kusta. Ia bekerja keras mempelajari minyak Chaulmoogra di tengah kesibukannya mengajar dan menyelesaikan tugas-tugasnya di kampus. Setahun kemudian, ia berhasil memecahkan tantangan yang dihadapi para ilmuan selama bertahun-tahun.
Alice Augusta Ball menemukan sebuah metode yang membuat komponen aktif minyak chaulmoogra dapat larut dan dapat disuntikkan. Metode ini melibatkan pembekuan asam lemak untuk mengisolasi senyawa ester dan menciptakan zat yang mempertahankan khasiat obat minyak Chaulmoogra dan mampu diserap tubuh saat disuntikkan.
Obat dari minyak chaulmoogra yang bisa diinjeksi ini kemudian terbukti efektif dalam pengobatan penyakit kusta. Obat ini kemudian digunakan dalam pengobatan utama yang memulihkan penderitaan pasien-pasien kusta sampai sekitar dua dekade sebelum obat kusta lain ditemukan.
Sayangnya, Alice Augusta Ball tidak sempat melihat keberhasilan itu. Ia bahkan tidak sempat mempublikasikan penelitiannya. Secara tragis, ia meninggal di usia 24 tahun. Penyebab kematiannya masih diperdebatkan. Ada yang berpendapat ia sakit karena kelelahan. Pada tahun 1917, sebuah artikel di the Pacific Commercial Advertiser berspekulasi Alice keracunan karena tak sengaja menghirup gas klorin dalam suatu kecelakaan di laboratorium saat mengajar. Apapun itu, karena sakitnya serius, Alice Augusta Ball memutuskan kembali ke Seattle pada Oktober 1916 dan meninggal dua bulan kemudian pada 31 Desember 1916.
Pengakuan Yang Tertunda
Setelah kematian Alice Augusta Ball, Dr. Arthur Dean, kolega kimiawannya sekaligus rektor The College of Hawaii mengambil ahli penelitiannya. Dr. Arthur Dean bahkan menerbitkan sejumlah artikel menggunakan penelitian Alice. Ia mengklaim metode yang dikembangkan Alice sebagai ‘Metode Dean’ yang baru dan inovatif. Ia kemudian menuai pujian dari New York Times dan berhasil memproduksi sejumlah besar minyak Chaulmoogra yang bisa diinjeksi tanpa menyebutkan kontribusi Alice.
Obat dari minyak Chaulmoogra yang bisa diinjeksi itu telah menyembuhkan ratusan pasien kusta yang diisolasi di Hawaii, mengembalikan mereka pada keluarganya, dan membebaskan mereka dari stigma sosial dan pengucilan masyarakat.
Keampuhan itu mempopulerkan nama Dr. Arthur Dean dan membuat Alice Augusta Ball terlupakan. Untungnya, Dr. Harry T. Hollmann tidak pernah melupakan siapa yang sesungguhnya membuat terobosan dalam pengembangan komponen aktif minyak Chaulmoogra yang bisa larut dan dapat disuntikkan.
Pada tahun 1922, Dr. Harry T. Hollmann menulis sebuah artikel yang menolak klaim keberhasilan Dr. Arthur Dean dengan menceritakan kontribusi Alice Augusta Ball. Ia juga menyarankan komunitas ilmiah untuk menyebut metode pengembangan obat kusta dari derivat minyak chaulmoogra sebagai ‘Metode Ball’. Sayangnya, saran ini tidak mendapat respon positif. Selama bertahun-tahun kontribusi Alice Augusta Ball lenyap dari pengakuan.
Baru pada tahun 1970-an, sejumlah investigator secara jeli menelusuri kontribusi Alice Augusta Ball melalui beberapa literatur dan mendorong pengakuan global pada kontribusinya. Kini namanya harum dalam sejarah pengobatan kusta.
The University of Hawaii mengakui peran dan pencapaian Alice Augusta Ball melalui sebuah plakat pada pohon Chaulmoogra di The University of Hawaii. Pohon itu merupakan hadiah dari kerajaan Siam atas kontribusinya dalam mengobati penyakit kusta. Ada pula beasiswa atas namanya yang diberikan kepada para siswa yang berprestasi di bidang sains. Selain itu, ada Alice Ball Day yang dirayakan di Hawai setiap empat tahun sekali.
Tahun 2019 dalam perayaan ulang tahun ke-90 London School of Hygene and Tropical Medice, nama Alice Ball ditulis di fasad institusi itu bersama dua ilmuan wanita berpengaruh lainnya; Florence Nightingale dan Marie Sclodowska-Curie. Ketiga nama itu ditambahkan ke dalam 23 inovator sains dan kedokteran lainnya, yang mana semuanya lelaki.
Apa Yang Bisa Kita Pelajari?
Perjalanan hidup Alice Augusta Ball merefleksikan bagaimana keberanian dan perjuangan orang-orang dari kaum minoritas untuk terlibat dalam kontribusi-kontribusi positif dalam kehidupan manusia. Kekurangan tak melulu hambatan sejauh kita bisa mendorong diri mengeksplorasi kelebihan-kelebihan yang mungkin kita miliki.
Meski hidupnya singkat, Alice Augusta Ball telah mengisi penuh hidupnya dengan pencapaian-pencapaian hebat yang memberikan kontribusi positif bagi kemanusiaanya. Kisah hidupnya menggambarkan bagaimana sains bisa tumbuh dari sebuah keluarga yang memanfaatkan sains dari apa yang mereka gemari. Sains dekat dengan kehidupan manusia. Bertumbuh bersama sains bisa menarik keingintahuan siapa saja untuk mendalaminya dan berkontribusi bagi penyelesaian persoalan yang ada di tengah masyarakat kita.
Referensi
Abebe, D. (2021). The Ball Method: A Short Film Celebrating Alice Augusta Ball. In African American Chemists: Academia, Industry, and Social Entrepreneurship (pp. 41-51). American Chemical Society.
Dwyer, M.K. A Woman Who Changed the World. University of Hawai’I Foundation. https://www.uhfoundation.org/impact/students/woman-who-changed-world
Ellis, E. (2021). Alice Ball and the Chaulmoogra Tree. Oak Spring Garden Foundation. https://www.osgf.org/blog/2021/2/10/alice-ball-and-chaulmoogra-oil.
Jacobson, A., & Ball, A. A. (2020). The scourge, the scientist, and the swindle. Oak Park, Illinois, United States.
Mushtaq, S., & Wermager, P. (2023). Alice Augusta Ball: The African-American chemist who pioneered the first viable treatment for Hansen’s Disease. Clinics in Dermatology, 41(1), 147-158.